728x90 AdSpace

  • Latest News

    Kamis, 09 Januari 2014

    Optimalisasi Zakat Dan Shadaqah

    Detik-Bisnis.com - Zakat memiliki tiga dimensi pengaruh dalam kehidupan seorang muslim yaitu dimensi akhlaq, sosial dan ekonomi.[1]Dalam dimensi akhlaq, zakat mengikit habis ketamakan dan keserakahan si kaya. Dalam dimensi sosial, zakat merupakan bentuk solidaritas sosial dalam Islam untuk menghapuskan kemiskinan di dalam masyarakat dan menyadarkan si kaya terhadap tanggung jawab sosialnya. Dalam dimensi ekonomi, zakat mencegah penumpukan kekayaan di tangan segelintir orang. Zakat merupakan suatu cara mengungkapkan kesyukuran seseorang atas karunia

    Hakikat zakat adalah sebagai pelaksanaan ibadah kepada Allah SWT. Zakat termasuk ke dalam rukun Islam yang memiliki urgensi yang sama dengan rukun Islam lainnya. Sebagai ibadah, zakat akan kehilangan maknanya jika tidak disertai dengan keikhlasan dan ketaqwaan kepada Allah SWT. Dengan keikhlasan berarti penunaian zakat oleh seorang wajib zakat tidak memiliki motif dan harapan apapun kecuali ridla Allah SWT.
    Zakat telah direalisasikan secara nyata dalam catatan sejarah Islam, sehingga masyarakat Islam terbebas dari kemelaratan dan menjadi masyarakat yang saling tanggung-menanggung serta saling mencukupi.  Bahkan dalam masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz, masyarakat telah demikian makmur sehingga tak ada lagi orang-orang fakir yang berhak mendapat zakat.

    Yahya bin Sa’id, seorang petugas amil zakat pada masa Umar bin Abdul Aziz, menuturkan,”Khalifah Umar bin Abdul Aziz telah mengutusku untuk mengumpulkan zakat orang Afrika. Lalu aku menariknya dan aku minta dikumpulkan  orang-orang fakirnya untuk kuberi zakat. Tapi ternyata tidak ada seorang pun dari kalangan itu yang mengambilnya. Sesungguhnya Umar bin Abdul Aziz telah membuat orang-orang berkecukupan. Akhirnya harta zakat itu kupergunakan untuk membeli budak-budak belian, lalu kumerdekakan.”[2] 

    Namun sayang, kondisi seperti itu kini nampaknya hanya menjadi impian saja, terutama setelah hancurnya negara Khilafah Islamiyah yang bertindak sebagai institusi pelaksana zakat dan setelah persepsi umat terhadap ajaran-ajaran Islam –termasuk zakat-- menjadi sedemikian dangkal dan lemah.
    Zakat kini dipahami secara terpisah dengan insitusi pelaksananya, serta  terlepas dari kesatuannya  dengan hukum-hukum Islam yang lain khususnya hukum Islam dalam bidang ekonomi. Karenanya, tatkala orang membicarakan zakat, ia dianggap sebagai satu-satunya ajaran Islam yang dapat diandalkan untuk mengatasi kemiskinan. Ini diperparah dengan penerapan sistem ekonomi kapitalistik, yang selain cenderung memperlebar jurang kaya - miskin, juga mempengaruhi pola pikir umat yang cenderung menjadi bersikap pragmatis dengan  menetapkan baik buruk segala sesuatu berdasarkan standar manfaat (naf’iyah).
    Akibat lanjutannya mudah diduga. Terjadi ekstensifikasi yang dipaksakan. Ketika  dana yang terkumpul dari zakat tidak mencukupi untuk mengangkat kaum miskin, sementara jumlah orang miskin terlalu banyak, agar agar terbukti bahwa Islam mampu menghilangkan kemiskinan, maka konsep zakat akhirnya dimelarkan dan dimulurkan –secara paksa—sesuai dengan asas kemanfaatan dan tuntutan keadaan, tanpa mempertimbangkan secara mendalam dan seksama kekuatan dalil syariahnya.      
    Seharusnya ini tak perlu terjadi. Sebab ajaran Islam untuk memuliakan kaum miskin sesungguhnya tidak hanya terbatas pada konsep zakat. Masih banyak konsep-konsep yang lain yang menerangkan sumber-sumber harta yang dapat digunakan untuk kemaslahatan kaum muslimin, termasuk pemberantasan kemiskinan. Misalnya konsep  al anfaal (harta rampasan perang), jizyah (harta yang dipungut oleh negara dari warga negara non-muslim), milkiyah ‘ammah (harta-harta kepemilikan umum), milkiyah daulah (harta kepemilikan negara) , ‘usyuur (harta yang dipungut oleh negara dari komoditas perniagaan ahludz dzimmah/kafir harbiyang melintasi perbatasan negara), dan lain sebagainya (Zallum, 1983 : 33-36).
    Karena itu, seharusnya konsep zakat kita kaji ulang secara obyektif, yakni  sebagaimana adanya sesuai yang ditunjukkan oleh nash-nash syara’. Kalau pun ada ijtihad, harus dapat dibuktikan bahwa ijtihad itu mempunyai dalil syariah yang kuat sehingga sah dalam penilaian syara’. Selain itu,  konsep-konsep Islam lainnya di bidang ekonomi juga harus ditelaah, termasuk keterkaitan zakat dengan negara Khilafah sebagai institusi pelaksananya,  agar pemahaman kita tidak tanggung dan sepotong-sepotong.         

    ZAKAT, INFAQ DAN SHADAQAH

    Di dalam masyarakat berkembang istilah zakat, infaq, dan shadaqah. Istilah ini telah demikian populer, namun tidak sedikit yang mengalami kekeliruan tentang konsep ketiganya. Infaq memiliki pengertian yang lebih luas dibandingkan istilah zakat. Menurut Al Jurjani dalam kitabnya At Ta’rifaat, infaq adalah penggunaan harta untuk memenuhi kebutuhan. Infaq bersifat penggunaan harta secara konsumtif bukan produktif. Dengan demikian, zakat, hibah, hadiah, wasiat, wakaf, nadzar (untuk membelanjakan harta), nafkah kepada keluarga, kaffarah berupa harta karena melanggar sumpah, melakukan zhihar, membunuh dengan sengaja, dan jima’ di siang hari bulan Ramadhan adalah termasuk infaq.
    Shadaqah, dengan merujuk pada pengertian yang disampaikan Al Jurjani, memiliki cakupan yang sangat luas karena shadaqah merupakan segala pemberian yang dengannya kita mengharap pahala dari Allah SWT. Pemberian yang dimaksudkan oleh Al Jurjani mencakup pemberian berupa harta maupun berupa suatu sikap atau perbuatan baik karena shadaqah digunakan dalam berbagai nash dengan beberapa pengertian yang berbeda. Terdapat tiga pengertian istilah shadaqah yang dapat ditemui.
    Pertama, shadaqah adalah pemberian harta kepada orang-orang fakir, orang yang membutuhkan, ataupun pihak-pihak lain yang berhak menerima shadaqah,  tanpa disertai imbalan.[3]Shadaqah dalam pengertian ini hukumnya adalah sunnah.
    Kedua, shadaqah adalah identik dengan zakat sebab terdapat nash-nash syariah yang menggunakan lafazh “shadaqah” sebagai zakat.

    “Sesungguhnya ash shadaqat (zakat-zakat) itu adalah bagi orang-orang  fakir, orang-orang miskin, amil-amil zakat …” (QS At Taubah : 60)

    Nabi saw. pernah berpesan kepada Mu’adz bin Jabal RA ketika dia diutus Nabi ke Yaman : “…beritahukanlah kepada mereka (Ahli Kitab yang telah masuk Islam), bahwa Allah telah mewajibkan zakat atas mereka, yang diambil dari orang kaya di antara mereka, dan diberikan kepada orang fakir di antara mereka...” (HR. Bukhari dan Muslim).

    Qarinah (indikasi) mengenai pengertian shadaqah sebagai zakat yang berhukum wajib karena pada ujung surat At Taubah ayat ke-60 di atas terdapat ungkapan “faridhatan minallah” (sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah). Dengan demikian, maksud lafazh “ash shadaqaat” dalam ayat tadi adalah zakat yang wajib bukan shadaqah sunnah lainnya. Begitu pula pada hadits Mu’adz, kata “shadaqah” diartikan sebagai zakat karena pada awal hadits terdapat lafazh “iftaradha”  (mewajibkan/memfardhukan). Ini merupakan qarinah bahwa yang dimaksud dengan “shadaqah” pada hadits itu, adalah zakat, bukan yang lain.
    Karena itu, untuk membedakannya dengan zakat yang hukumnya wajib, para fuqaha menggunakan istilah shadaqah tathawwu’ atau ash shadaqah an nafilah. Sedang untuk zakat, dipakai istilah ash shadaqah al mafrudhah.[4] Namun demikian, ‘urf para fuqaha, sebagaimana dapat dikaji dalam kitab-kitab fiqh berbagai madzhab, jika disebut istilah shadaqah secara mutlak, maka yang dimaksudkan adalah shadaqah dalam arti yang pertama ini --yang hukumnya sunnah--  bukan zakat.
    Ketiga, shadaqah adalah sesuatu yang ma’ruf (benar dalam pandangan syariah).  Pengertian ini didasarkan pada hadits shahih riwayat Imam Muslim.

    Nabi SAW bersabda, “Kullu ma’rufin shadaqah” (Setiap kebajikan, adalah shadaqah). (HR. Imam Muslim).

    Imam An Nawawi dalam kitabnya Sahih Muslim bi Syarhi An Nawawi ketika mensyarah hadits di atas (“Kullu ma’rufin shadaqah”)  beliau mengisyaratkan bahwa shadaqah di sini memiliki arti majazi (kiasan/metaforis), bukan arti yang hakiki (arti asal/sebenarnya). Menurut beliau, segala perbuatan baik dihitung sebagai shadaqah, karena disamakan dengan shadaqah (berupa harta) dari segi pahalanya (min haitsu tsawab). Misalnya, mencegah diri dari perbuatan dosa disebut shadaqah, karena perbuatan ini berpahala sebagaimana halnya shadaqah.  Begitu pula amar ma’ruf nahi munkar disebut shadaqah, karena aktivitas ini berpahala seperti halnya shadaqah.[5]
    Zakat secara bahasa berarti “berkembang” (an namaa`) dan “yang mensucikan” (at tath-hiir). Istilah ini dapat difahami dari al-Qur’an yang mengungkapkan tujuan kewajiban zakat.

    “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka … (QS. At Taubah : 103).

    Seseorang dapat membersihkan diri dan hartanya ketika melaksanakan zakat. Seseorang dikatakan berhati suci dan mulia apabila ia tidak kikir dan tidak terlalu mencintai harta untuk kepentingan diri sendiri. Harta merupakan sesuatu yang disayangi orang, namun setelah menunaikan zakat yang bersangkutan berupaya untuk memperoleh kemuliaan dan kesucian. Inilah aspek kerohanian yang dapat diperoleh dari zakat.
    Dalam ketentuan syariah, zakat merupakan hak yang telah ditentukan besarnya yang wajib dikeluarkan  pada harta-harta tertentu.[6]Definisi ini mengeluarkan pemberian harta yang besarnya tidak ditentukan, misalnya hibah, hadiah, wasiat, dan wakaf dari pengertian zakat. Sebagai kewajiban berarti zakat harus dikeluarkan jika syarat-syarat yang ditentukan syariah dipenuhi oleh seseorang.
    Zakat merupakan kewajiban yang ditetapkan pada harta-harta tertentu dan tidak mencakup segala macam harta secara umum. Harta yang diwajibkan dikeluarkan zakatnya harus ditetapkan berdasarkan nash-nash syariah yang khusus, sebagaimana zakat emas, perak, onta, domba, dan sebagainya yang secara tegas disebutkan dalam nash syariah.

    KEWAJIBAN ZAKAT
    Zakat merupakan salah satu rukun Islam dan salah satu kewajiban yang sudah masyhur keberadaannya dalam Islam. Zakat diwajibkan di Madinah pada bulan Syawal pada tahun II Hijriyah, setelah diwajibkannya puasa Ramadhan dan zakat fitrah. Kewajiban zakat wajib berdasarkan Al Qur`an, As Sunnah, dan Ijma’ Shahabat.

    “Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat.” (QS. Al Baqarah : 110)

    “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka…” (QS. At Taubah : 103) 

    “Islam dibangun di atas lima perkara :  syahadat bahwa tidak ada tuhan selan Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan shalat, menunaikan zakat, berpuasa Ramadhan, dan melaksanakan ibadah haji ke Baitullah bagi yang mampu.” (HR. Bukhari dan Muslim)

    Nabi  SAW pernah mengutus Mu’adz keYaman dan beliau berpesan kepada Mu’adz, ”… beritahukanlah mereka bahwa Allah telah mewajibkan zakat atas mereka, diambil dari orang-orang kaya mereka dan diberikan kepada orang-orang fakir mereka.” (HR. Jama’ah dari Ibnu Abbas, Lihat Nailul Authar, Asy Syaukani, Juz IV, hal. 114) 

    Ijma’ shahabat juga menyepakati kewajiban zakat. Para shahabat bersepakat memerangi orang-orang yang tidak mau membayar zakat karena zakat hukumnya wajib, sebagaimana yang dilakukan oleh Abu Bakar Ash Shiddiq dan para shahabat.[7]
    Orang yang tidak mau membayar zakat tergolong telah melakukan dosa besar (itsmun kabiir). Bahkan, seseorang  yang tak mau menunaikan zakat itu karena menolak kewajiban zakat dianggap telah murtad dan diperlakukan sebagai orang murtad. Dia akan diminta bertaubat dalam jangka waktu 3 (tiga) hari. Jika dalam jangka waktu itu dia bertaubat, zakat diambil darinya, dan tidak dijatuhkan sanksi apa pun atasnya. Jika dia tetap menolak kewajiban zakat setelah jangka waktu tersebut, dia dijatuhi hukuman mati.[8]Inilah yang dijadikan alasan bagi para shahabat memerangi orang yang tidak mau membayar zakat. Untuk itu, negara akan memaksa seseorang yang tidak mau membayar zakat sementara dia meyakini kewajibannya. Negara akan memerangi mereka sebagai orang-orang pembangkang (bughat).
    Hukum ini berbeda berkenaan dengan seseorang yang menolak membayar zakat karena dia tidak tahu adanya kewajiban zakat. Perlakuan kepadanya adalah memberitahukan kewajiban zakat dan tidak dikafirkan serta tidak djatuhi sanksi berupa ta’zir (sanksi yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh qadhi/hakim). Sebab, ketidaktahuannya itu merupakan udzur syariah. Setelah dia mengathauinya, zakat akan diambil darinya.[9]
      
    Kewajiban zakat dalam al Qur’an dan al Hadits diikuti dengan ancaman adzab yang pedih bagi orang yang enggan membayar zakat. Allah SWT mengancamnya dengan adzab diseterika kening dan punggungnya dengan piring-piring yang yang teramat panas, yang telah dipanaskan lebih dulu dalam neraka Jahannam. Harta-harta yang tak dizakati akan dikalungkan kepada para pemilik harta yang tak mau menunaikan zakatnya.

    “Tidaklah seseorang yang memiliki  emas atau perak, lalu tidak mengeluarkan haknya –yakni zakatnya—kecuali pasti pada Hari Kamat nanti akan disediakan baginya piring-piring dari api yang telah dipanaskan dalam neraka Jahannam. Lalu piring-piring itu diseterikakan  pada jidat dan punggungnya. Setiap kali mendingin, piring-piring itu dipanaskan kembali selama sehari yang ukuran lamanya sama dengan 50 ribu tahun.  Hal ini akan terus berlangsung sampai diputuskan ketentuan bagi seluruh hamba-Nya, apakah masuk surga atau masuk neraka.” (HR. Bukhari dan Muslim)

    “Dan sekali-kali janganlah orang orang yang bakhil terhadap harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kepada mereka kelak di lehernya pada Hari Kiamat. Dan milik Allah sajalah segala warisan (yang ada) di langit dan bumi. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kalian perbuat.”  (QS. Ali ‘Imraan : 180)

    Kedudukan zakat sebagai salah satu dari lima tiang agama tidak dapat diberikan atau disejajarkan dengan pajak dalam definisi kapitalis. Dalam negara kapitalis, sumbangan yang memenuhi persyaratan (1) pembayaran yang diwajibkan, (2) tidak ada balasan atau imbalan, (3) diwajibkan untuk seluruh masyarakat suatu negara dianggap sebagai pajak. Meskipun ada beberapa syarat yang serupa, namun tetap saja zakat sangat berbeda dengan pajak. Bagaimanapun, zakat tidak dapat menggantikan pajak apalagi jika dalam struktur ekonomi kapitalis. Perbedaan antara zakat dengan pajak dapat diringkas sebagai berikut[10] :
    (a)   Zakat merupakan kewajiban agama dalam bentuk ibadah sedangkan pajak konvensional pada umumnya merupakan kebijakan ekonomi yang diterapkan untuk memperoleh pendapatan bagi pemerintah.
    (b)   Zakat hanya diwajibkan kepada kaum muslimin saja di suatu negara; sedangkan pajak konvensional dikenakan kepada seluruh masyarakat tanpa mempertimbangkan agama, suku maupun warna kulit.
    (c)   Zakat merupakan kewajiban kaum muslimin yang harus dibayarkan dalam kondisi yang telah ditetapkan syariah tanpa dapat ditunda, sebaliknya pajak, dapat ditangguhkan oleh pemerintah yang berkuasa.
    (d)   Sumber dan besarnya zakat ditentukan berdasarkan nash syariah tanpa dapat diubah oleh seseorang maupun pemerintah. Sebaliknya, sumber dan besarnya pajak dapat diubah dari waktu ke waktu berdasarkan keperluan pemerintah suatu negara.
    (e)   Butir-butir pengeluaran dan orang-orang yang berhak menerima harta zakat juga dinyatakan oleh Al Qur'an dan sunnah dan tak seorangpun atau pemerintah manapun mempunyai hak atau kekuasaan untuk mengubah ketentuan tersebut; sedangkan pembelanjaan pajak konvensional dapat diubah atau dimodifikasi menurut kebutuhan pemerintah.
    (f)   Zakat diperoleh dari orang berharta dan diterimakan kepada yang berhak; sedangkan pajak konvensional memberikan manfaat kepada orang kaya sekaligus pada orang-orang miskin, dan mungkin dalam keadaan tertentu, lebih banyak menguntungkan orang kaya daripada orang miskin.
    (g)   Pada dasarnya zakat itu dikenakan untuk mencegah ketidakwajaran dan ketidakseimbangan distribusi kekayaan dan mencegah penumpukan harta di tangan segelintir orang saja; sedangkan pajak biasa dikenakan dengan tujuan utama untuk memperoleh pendapatan atau pemasukan bagi negara.
    Dalam pembahasannya yang lebih luas, Chapra mengingatkan bahwa zakat bukan merupakan pengganti ketentuan mengenai pembiayaan sendiri yang dibuat di masyarakat modern untuk memberikan perlindungan asuransi sosial untuk pengangguran, kecelakaan, usia lanjut dan kesehatan melalui pemotongan gaji para pekerja dan sumbangan para majikan.[11]Zakat juga bukan sebagai pengganti dari penyediaan dana oleh pemerintah untuk bantuan dan dan pembayaran selain ditujukan kepada delapan golongan tersebut. Apapun, tidak ada alasan yang diterima oleh syariah untuk membuat ketentuan lain dan alasan lain mengenai pengumpulan dan distribusi zakat, selain yang telah secara jelas diatur hukum syariah.

    SYARAT-SYARAT KEWAJIBAN ZAKAT
    Dr. Wahbah Az Zuhaili dalam kitabnya Al Fiqhul Islami Wa Adillatuhu[12]  menyimpulkan adanya delapan syarat dalam zakat.
    1.    Bebas dari perbudakan (al hurriyah).
    Seluruh ulama madzhab sepakat bahwa zakat tidak wajb atas budak. Karena sesuai ketentuan syara’, seorang budak itu tidak dapat memilik sesuatu. Pemilik budaklah yang memiliki apa saja yang ada di tangan budaknya.

    2.    Islam.
    Zakat hanya wajib atas kaum muslimin dan tidak akan dipungut dari orang kafir, berdasarkan hadits Rasulullah saw.

    Nabi saw. pernah bersabda kepada Mu’adz, “…beritahukanlah kepada mereka (Ahli Kitab yang telah masuk Islam), bahwa Allah telah mewajibkan zakat atas mereka, yang diambil dari orang kaya di antara mereka, dan diberikan kepada orang fakir di antara mereka...” (HR. Bukhari dan Muslim).

    Hadits di atas menyatakan bahwa zakat diambil dari “orang kaya di antara mereka” (aghniya`ihim), yaitu di antara orang Islam. Karenanya, mafhum mukhalafah-nya (pengertian kebalikannya) adalah zakat tidak diambil dari orang kafir.

    3.    Baligh dan Berakal.
    Ini adalah syarat menurut madzhab Hanafi yang tidak mewajibkan zakat atas anak kecil dan orang gila.  Pendapat yang lebih tepat dikemukakan oleh jumhur ulama (madzhab Maliki, Syafi’i, dan Hambali) bahwa baligh dan berakal bukan syarat wajib zakat. Sehingga, zakat tetap wajib atas anak kecil dan orang gila, sesuai hadits Nabi SAW.

    “Siapa saja yang diberi amanat untuk mengurusi anak yatim yang mempunyai harta, maka hendaklah dia berniaga untuknya, dan jangan sampai harta itu dibiarkan saja sehingga habis dimakan zakat.” (HR. At Tirmidzi dan Al Baihaqi dengan sanad dha’if. Namun Asy Syafi’i dan Al Baihaqi meriwayatkan melalui jalur periwayatan lain yang shahih. Lihat  Al Majmu` , juz V hal. 297, dan Nashbur Rayah, juz II, hal. 331).

    4.    Hartanya Wajib Dizakati.
    Syarat keempat ini menerangkan bahwa zakat hanya wajib pada harta-harta tertentu yang wajib dizakati, bukan pada semua harta secara umum. Menurut Zallum[13], harta-harta yang wajib dizakati ada empat golongan, yaitu (1) binatang ternak seperti unta, sapi, dan kambing, (2) hasil tanaman dan buah-buahan, (3) mata uang yaitu emas dan perak dan (4) barang-barang perdagangan.

    5.    Hartanya Mencapai Nishab.
    Harta yang dizakati harus mencapai atau lebih nishab, yakni jumlah minimal harta yang wajib dikeluarkan zakatnya. Nishab emas adalah 20 dinar (= 85 gram emas), nishab perak adalah 200 dirham (=595 gram perak), nishab hasil tanaman dan buah-buahan adalah 5 wasaq (=652 kg), nishab domba  adalah 40 ekor, onta 5 ekor, dan sapi 30 ekor.

    6.    Hartanya Milik Sempurna (al milku at taam).
    Menurut jumhur ulama, yang dimaksud dengan adanya kepemilikan sempurna (al milku at taam) adalah adanya asal kepemilikan (ashlul milki) dan kemampuan memanfaatkan barang (al qudrah ‘ala at tasharruf). Maka tak ada zakat atas barang yang  tidak lagi dimiliki seperti harta yang telah diwakafkan (tak ada ashlul milki), sebagaimana tak ada  zakat atas barang yang dikuasai atau dirampas orang lain (ada ashlul milki tapi tak ada al qudrah ‘ala at tasharruf). 

    7.    Hartanya Mencapai Haul.
    Hal ini didasarkan pada hadits Nabi SAW

    “Tak ada zakat pada harta sampai melalui satu haul (satu tahun).” (HR. Abu Dawud dari Ali bin Abi Thalib. Hadits Hasan).

    Haul zakat dihitung menurut tahun Qamariyah, bukan Syamsiyah , yakni telah dimiliki dalam jangka waktu dua belas bulan Hijriyah. Tercapainya haul merupakan syarat bagi zakat binatang ternak, mata uang, dan barang perdagangan. Sedangkan zakat hasil tanaman dan buah-buahan tidak memiliki haul sehingga wajib dikeluarkan setiap kali memanen hasilnya.

    “Dan tunaikanlah haknya (zakatnya) di hari memetik hasilnya.” (QS Al An’aam : 141)

    8.    Tidak Ada Utang
    Pemilik harta yang mempunyai utang sehingga dapat menghabiskan atau mengurangi nishab zakatnya tidak diwajibkan zakat baginya. Hal ini berdasarkan ijma’ Shahabat yang sepakat tentang hal ini.

    Diriwayatkan dari Said, bahwa ia  telah mendengar Utsman bin ‘Affan berkhutbah di atas mimbar Rasulullah SAW dan berkata : “Bulan  ini adalah bulan diwajibkannya zakat atas kamu sekalian. Maka barangsiapa yang masih mempunyai utang, maka segera bayarlah utangnya, dan keluarkanlah zakat dari sisa hartanya.” (HR. Al Baihaqi)

    KETENTUAN UMUM HARTA YANG WAJIB DIZAKATI        
    Jenis-jenis harta yang wajib dizakati terdiri dari empat golongan, yaitu :
    1.    Binatang ternak (al maasyiah), yaitu unta, sapi, dan kambing.
    2.    Hasil tanaman dan buah-buahan (az zuruu’ wa ats tsimaar).
    3.    Mata Uang (an nuqud), yaitu emas dan perak.
    4.    Barang-barang perdagangan (‘uruudh at tijarah).

    1. Zakat Binatang Ternak
    Zakat binatang ternak merupakan zakat pada unta, sapi, dan kambing, sesuai dengan nash-nash syara’ yang menerangkan jenis binatang ternak yang wajib dizakati. Kewajiban zakat ternak terjadi pada hewan ternak yang jinak, digembalakan dan bukan binatang pekerja, mencapai nishab yang telah ditentukan syara’, yaitu pada unta 5 ekor, pada kambing 40 ekor, dan pada sapi 30 ekor dan mencapai satu tahun qamariyah (haul),[14]
      
    2. Zakat Hasil Tanaman dan Buah-Buahan (az zuruu’ wa ats tsimaar).
    Hasil tanaman atau buah-buahan yang wajib dizakati wajib dizakati hanya empat jenis yaitu gandum, jewawut/jelai (asy sya'ir), kurma (at tamr) dan kismis/anggur kering (az zabiib).[15]Selain keempat jenis tersebut tidak wajib dizakati karena nash syariah hanya menjelaskan keempat jenis tersebut.

    Nabi SAW ketika beliau mengutus Mu’adz dan Abu Musa ke Yaman bersabda,  “Janganlah kalian mengambil zakat kecuali dari empat macam barang ini : jewawut (asy sya'ir), gandum (al qamhu), kismis (az zabiib), dan kurma (at tamr).” (HR. Al Hakim, Al Baihaqi, dan Ath Thabrani) 

    Dengan demikian, tidak terdapat kewajiban zakat atas hasil pertanian lain seperti padi, jagung, sagu, apel, mangga, rambutan, sayur mayur, kopi, coklat, dan sebagainya, kecuali akan terkena zakat perdagangan jika komoditas tersebut diperdagangkan.                       
    Nishab zakat pertanian adalah 5 wasaq, atau setara dengan 653 kg.

    Sabda Nabi saw., “Tidak ada zakat pada apa yang kurang dari 5 wasaq.” (HR. Bukhari dan Muslim)

    Zakat ini tidak disyaratkan adanya haul dan harus dikeluarkan setelah pemanenan, pembersihan, serta pengeringan.

    “Dan tunaikanlah haknya (zakatnya) di hari memetik hasilnya.” (QS Al An’aam : 141)
        
    Bagian yang harus dikeluarkan zakat sebesar sepersepuluh (10 %) apabila tanamannya disirami dengan air hujan, air sungai, atau sumber lainnya tanpa penyiraman dan sebesar seperduapuluh (5 %) apabila tanamannya disirami dengan tenaga manusia seperti air sumur atau irigasi. 

    Ali r.a. meriwayatkan bahwa Nabi saw. bersabda, "Pada tanaman yang disirami air hujan zakatnya sepersepuluh (10 %) dan yang disirami dengan tenaga manusia atau irigasi zakatnya seperduapuluh (5 %)."

    Pembayaran zakat ini dapat dilaksanakan dengan dua cara. Pertama, ditunaikan dalam bentuk barangnya. Kedua, ditunaikan dalam bentuk uang atau komoditas lainnya, yang nilainya setara dengan tanggungan zakat.

    Diriwayatkan dari Amr bin Dinar dari Thawus, dia menyatakan : "Sesungguhnya Nabi saw. mengutus Mu'adz bin Jabbal ke Yaman, lalu Mu'adz mengambil baju sebagai pengganti zakat dari gandum (al hinthah) dan kismis (asy sya'ir)."

    3.  Zakat Mata Uang
    Zakati mata uang dikenakan pada emas dan perak, baik berbentuk mata uang maupun bukan mata uang. Untuk jenis uang selain emas dan perak, masih terkena kewajiban zakat, sebab dalam Islam emas dan perak itu sesungguhnya berfungsi sebagai alat tukar sebagaimana fungsi uang pada umumnya. Namun, zakat tidak diterapkan pada emas dan perak yang digunakan sebagai perhiasan yang dipergunakan wanita untuk bersolek dan menghiasi dirinya.

    Diriwayatkan dari Jabir bahwa Nabi SAW bersabda : “Tidak ada kewajiban zakat pada perhiasan.”

    Nishab perak adalah 200 dirham atau 595 gram perak. Nishab emas sebesar 20 dinar atau 85 gram emas. Untuk jenis uang lainnya, nishab zakat mengikuti nishab emas dan perak dengan cara mengkoversinya. Besar zakat yang wajib dikeluarkan untuk emas dan perak adalah sama, yakni 1/40 atau 2,5 %. Zakat emas dan perak diwajibkan setelah mencapai satu tahun (mencapai haul) dan nishabnya telah sempurna dari awal haul hingga akhir haul. [16]

    4, Zakat Perdagangan
    Yang dimaksud dengan barang perdagangan, adalah segala sesuatu barang yang digunakan dalam kegiatan jual-beli dengan maksud memperoleh keuntungan, seperti makanan, pakaian, furniture, barang elektronika, hewan, buah-buahan, tanah, bangunan, dan barang-barang lain yang mubah untuk diperjual-belikan.[17]Barang-barang seperti itu wajib dizakati, sesuai hadits Nabi SAW  dari shahabat Sumarah bin Jundub RA :

    “Sesungguhnya Rasulullah SAW telah memerintahkan kita untuk mengeluarkan zakat dari (barang) yang kami siapkan untuk (aktivitas) jual-beli.” (HR. Abu Dawud)

    Nishab dan besar zakat yang harus dikeluarkan pada zakat barang dagangan ini, sama dengan zakat emas atau perak. Dengan kata lain, nishab zakat harta perdagangan adalah nilai yang setara dengan 85 gram emas atau 595 gram perak dan besarnya 2,5 %. Zakat dapat dikeluarkan dalam bentuk harta yang diperdagangkan, ataupun dapat juga berupa uang yang berlaku dengan nilai sama.

    MUSTAHIQ ZAKAT
    Orang-orang yang berhak memperoleh zakat (para mustahiq zakat) telah ditentukan Allah SWT.

    "Sesungguhnya zakat-zakat itu hanya untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, para amil zakat, mu`allaf, budak, orang-orang berhutang, jihad fi sabilillah, dan ibnu sabil."  (QS At Taubah :  60)

    Ayat  ini membatasi dan mengkhususkan para mustahiq zakat hanya pada delapan golongan saja. Zakat tidak boleh diberikan kepada selain mereka.

    1.    Orang-Orang Fakir
    Fakir adalah orang-orang yang tidak mempunyai harta cukup untuk memenuhi kebutuhan pokoknya (makanan, pakaian, dan tempat tinggal). Atau siapa saja yang pendapatannya lebih sedikit dari apa yang dibutuhkannya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan  pokoknya juga disebut fakir. Kepadanya diberikan harta dari zakat hingga dapat  memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokoknya dan terbebas dari kefakirannya. Dengan demikian, tidak sah seorang kaya menerima zakat.

    Abdullah bin Amru berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda :"Tidak dihalalkan zakat untuk orang kaya dan orang-orang yang memiliki kemampuan (dzu mirratin sawiyyin)."

    Dzu mirratin sawiyyin dalam hadits di atas adalah orang yang mempunyai kekuatan dan kemampuan untuk berusaha. Jika dia tidak mendapat sesuatu yang dapat diusahakan, maka ia dianggap fakir.  Sedangkan al ghani (orang kaya), ialah orang yang tidak membutuhkan orang lain (dalam hal menyangkut harta), yang pendapatannya lebih banyak dari apa yang dibutuhkannya untuk memenuhi kebutuhan pokoknya. Hadits-hadits telah menerangkan tentang siapa yang termasuk orang kaya.

    Abdullah bin Mas'ud berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda : “Tidak seorang pun yang meminta-minta sesuatu --padahal ia kaya-- kecuali pada Hari Kiamat ia datang dalam keadaan mukanya luka, terkoyak, dan terkelupas.  Kemudian Rasulullah ditanya,’Wahai Rasulullah, bagiamana seseorang dapat dikatakan kaya?’  Rasulullah menjawab, 'Ia mempunyai 50 dirham atau hitungan yang setara dengan emas." (HR. Al Khamsah).
                  
    2.    Orang-Orang Miskin
    Orang miskin  adalah orang-orang yang tidak mempunyai apa-apa. Mereka hidup dalam ketiadaan harta. Namun mereka tidak meminta-minta kepada orang lain.

    “Tidak dikatakan orang miskin orang yang meminta-minta kepada orang lain yang kemudian ia diberi sesuap atau dua suap, sebutir atau dua butir kurma.  Akan tetapi orang miskin ialah orang yang tidak mendapatkan kekayaan yang mencukupi kebutuhannya, serta tidak meminta-minta kepada manusia. Dan ia tidak terfitnah karena miskin, maka berilah zakat padanya." (HR. Muttafaq 'Alaih).

    Orang miskin itu keadannya lebih memperihatinkan dibandingkan orang fakir.

    "Atau orang miskin yang sangat fakir." (QS. Al Balad : 16).

    Orang miskin boleh menerima zakat dan berhak mengambil harta zakat. Ia boleh diberi zakat sampai pada batas tertentu sehingga dia dapat terbebas dari kemiskinannya dan dapat mencukupi kebutuhan-kebutuhan  pokoknya.

    3.    Amilin Zakat
    Amil Zakat  adalah orang-orang yang ditunjuk untuk mengumpulkan zakat dari para wajib zakat (muzakki) dan mendistribusikannya kepada orang-orang yang berhak menerimanya (mustahiquz zakah).  Mereka berhak mendapat zakat walaupun mereka kaya, sebagai imbalan atas tugas mereka  mengumpulkan dan membagikan zakat.

    'Atha bin Yasar berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda : "Zakat tidak dihalalkan untuk orang kaya kecuali untuk 5 (lima) golongan : Amil zakat, seseorang yang membeli harta zakat dengan hartanya, seseorang yang memberikan zakatnya kepada tetangganya yang fakir lalu orang fakir itu menghadiahkannya kepada si kaya,  orang yang berperang, dan orang yang mempunyai hutang." 
      
    Bisir bin Sa'id RA berkata, "Sesungguhnya Ibnu Assa'di Al Maliki berkata, ’Umar RA pernah menjadikan saya amil zakat.  Setelah selesai melakukan tugas, saya serahkan zakat itu kepada beliau.  Lalu saya diberinya uang.  Saya berkata, ‘Sesungguhnya saya melakukan ini karena Allah.’  Umar berkata,’Ambillah apa yang saya berikan, sesungguhnya saya pernah menjadi amil zakat pada masa Rasulullah dan beliau memberi saya uang. Saya pun lalu berkata seperti yang engkau ucapkan tadi. Kemudian beliau (Rasulullah SAW) bersabda kepada saya : “Jika saya memberikan sesuatu, bukan karena engkau minta, maka makanlah dan sedekahkanlah !" (HR Muttafaq 'Alaih).

    4.    Mu`allaf
    Muallaf adalah  para pemimpin, tokoh masyarakat yang berpengaruh, dan pahlawan-pahlawan, yang baru masuk Islam dan belum kuat imannya.  Dalam hal ini Khalifah atau para Wali berhak menilai, apakah orang-orang ini perlu diberi zakat untuk mengikat hati mereka, menguatkan iman mereka, memanfaatkan mereka untuk kepentingan Islam dan kaum muslimin, atau untuk mempengaruhi para pengikut mereka.  Rasulullah SAW pernah memberikan zakat kepada Abu Sufyan, ‘Uyainah bin Hishni, Aqra' bin Habis, 'Abbas bin Murdas, dan sebagainya.

    'Amru bin Taghallub RA berkata,”Sesungguhnya Rasulullah SAW membawa harta atau tawanan kemudian beliau membagi-bagikannya. Beliau berikan kepada seseorang dan beliau tidak memberikannya kepada yang lain.  Kemudian dilaporkan kepada beliau bahwa mereka yang tidak diberi kurang menerima perlakuan Nabi tersebut. Nabi kemudian memuji dan menyanjung Allah (membaca hamdalah) lalu bersabda :
    "Kemudian daripada itu, demi Allah, saya berikan zakat ini kepada seseorang dan tidak saya berikan kepada seseorang yang lain.  Orang-orang yang tidak saya beri lebih saya cintai daripada orang-orang yang saya beri.  Tetapi saya memberikan (zakat) kepada kaum-kaum tertentu karena saya melihat di dalam hati mereka masih ada keluh-kesah, gelisah, dan ketakutan.  Sedang saya menyerahkan nasib kaum-kaum yang lain (yang tidak saya beri) kepada apa yang telah diberikan Allah ke dalam hati mereka berupa kekayaan dan harta benda."

    Tujuan para mu’allaf diberi zakat adalah untuk menguatkan hati mereka. Karenanya jika tidak memiliki aspek ini, mereka tidak mendapatkan bagian zakat. Ini seperti yang dilakukan oleh Abu Bakar dan Umar r.a. yang tidak memberikan zakat kepada para mu`allf setelah Islam kuat dan tersebar.

    5.    Budak
    Diberikan kepada budak bagian dari zakat, baik budak berstatus sebagai mukatab (budak yang mempunyai perjanjian dengan tuannya untuk pembebasan dirinya) untuk membebaskannya dari perbudakan dan membeli diri mereka sendiri dari harta zakat. Mereka dimerdekakan apabila mereka tidak termasuk golongan  mukatab . Faktanya , sekarang tidak ada lagi perbudakan.

    6.    Orang-orang yang Berhutang
    Gharimin adalah orang-orang yang mempunyai hutang, yaitu orang-orang yang memikul beban hutang untuk memperbaiki hubungan sesama manusia (ishlahu dzatil bain), atau untuk membayar diyat, atau untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pribadi mereka,  baik mereka miskin maupun kaya. Kepada mereka diberikan sebesar beban hutang yang dipikul, tanpa tambahan.

    Dari Anas RA, bahwasanya Nabi SAW bersabda: "Sesungguhnya meminta-minta itu tidak halal kecuali bagi 3 (tiga) golongan : yaitu orang yang sangat fakir, orang yang mempunyai hutang yang sangat banyak, dan orang yang sangat membutuhkan darah."

    Qubaishah bin Mukhariq Al Hilali berkata,"Saya menanggung suatu beban yang berat, kemudian saya datang kepada Rasulullah SAW untuk meminta kepada beliau.  Maka beliau menjawab : ‘Tinggallah di sini sehingga ada sedekah datang kepada saya, maka akan saya perintahkan sedekah itu untuk diberikan kepadamu.  Kemudian beliau bersabda kembali : Hai Qubaishah, minta-minta itu tidak halal melainkan bagi salah satu dari 3 (tiga) golongan : (1) seseorang yang menanggung beban yang berat, maka halal baginya meminta-minta sampai dia memenuhi kebutuhannya, (2) seseorang yang ditimpa suatu musibah yang menghancurkan hartanya, maka halal baginya meminta-minta sampai dia mendapatkan suatu keadaan yang layak untuk hidup atau mampu mendukung kehidupannya, (3) seseorang yang ditimpa suatu kemiskinan sehingga ada 3 (tiga) dari orang-orang yang pandai dari kaumnya mengatakan ‘Sungguh si Anu itu telah ditimpa suatu kemiskinan’, maka halal baginya meminta-minta sehingga dia mendapatkan keadaan yang layak untuk hidup atau mampu mendukung kehidupannya.  Selain itu meminta-minta, hai Qubaishah, adalah haram dan yang melakukannya berarti makan barang haram.” (HR. Muslim , Abu Daud, dan Nasa'i).

    Orang-orang yang memikul beban hutang untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pribadinya,  kepada mereka diberi zakat untuk menutupi hutang-hutangnya, baik mereka miskin atau tidak miskin tetapi tidak mampu melunasi hutangnya. Jika mereka kaya, yang mampu melunasi hutang-hutang mereka, maka tidak diberikan bagian zakat kepada mereka, karena hal itu haram bagi mereka.

    7.    Fii Sabilillah, yaitu Jihad.
    Fii Sabilillah adalah jihad dan segala sesuatu yang dibutuhkan dan harus ada untuk aktivitas jihad, seperti perekrutan pasukan perang, pendirian pabrik-pabrik dan industri senjata, dan sebagainya.  Kata Fii Sabilillah dalam Al-Qur'an tidak bermakna lain kecuali jihad, sehingga untuk jihad dan segala sesuatu yang mendukungnya ini, diberikan zakat.  Dalam hal ini tidak ada ketentuan mengenai batas jumlah zakat yang diberikan untuk jihad. Jadi boleh memberikan seluruh harta zakat, atau sebagiannya, untuk kepentingan jihad,  sesuai dengan pendapat dan pertimbangan Khalifah terhadap para mustahiq zakat lainnya.

    Diriwayatkan dari Abu Sa'id, ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda : "Zakat tidak dihalalkan untuk orang kaya, kecuali (yang berjihad) fi sabilillah."

    Dan dalam riwayat lain, Rasulullah SAW bersabda : "Zakat tidak dihalalkan untuk orang kaya, kecuali yang berperang fii sabilillah."

    8.    Ibnu Sabil
    Yaitu orang yang kehabisan bekal dalam perjalanannya, yang tidak mempunyai harta yang dapat mengantarkannya untuk sampai ke negerinya.  Kepadanya diberikan zakat dengan jumlah yang dapat mengantarkan ia sampai ke negerinya, baik jumlah yang dibutuhkan itu banyak maupun sedikit.  Demikian pula diberikan kepadanya biaya selama perjalanan hingga ia dapat sampai di negerinya, walaupun ia seorang yang kaya di negerinya.

    "Zakat tidak halal diberikan kepada orang kaya kecuali (yang berjihad) di jalan Allah, atau ibnu sabil…"

    Inilah 8 golongan yang berhak menerima zakat. Selain dari itu,  tidak halal menerima zakat. Maka,  zakat tidak dapat diberikan untuk mendirikan masjid, rumah sakit, sarana umum seperti jalan, jembatan dan sebagainya atau  segala bentuk sarana bagi kepentingan negara atau rakyat.
    Dalam hal ini Khalifah mempunyai wewenang untuk memberikan zakat kepada seluruh golongan tersebut sesuai dengan pendapatnya sehingga dapat terwujud kemaslahatan masing-masing dari 8 golongan ini, sebagaimana telah dilakukan oleh Rasulullah SAW dan para Khalifah setelahnya. 
    Khalifah boleh membagikan zakat kepada seluruh 8 golongan secara merata, sebagaimana halnya dibolehkan Khalifah  membatasi pemberian zakat hanya kepada sebagian golongan saja bila dipandang itu lebih dapat  dapat mewujudkan kemaslahatan.  Apabila tidak ditemukan orang-orang yang berhak menerima zakat (dari 8 golongan ini), maka zakat disimpan di Baitul Mal (Kas Negara) pada Diwanuz Zakat (Departemen Zakat) untuk didistibusikan kepada para mustahiq suatu saat nanti.

    Dari Ibnu Abbas, ia berkata tentang zakat :
    "Jika engkau memberikan zakat hanya kepada salah satu dari delapan golongan, maka itu telah cukup bagimu ." 

    Hal ini juga dikatakan oleh ‘Atha`, Hasan, dan Malik, yang berkata :
    "Masalah yang tidak ada perbedaan pendapat di kalangan kami ialah, bahwa  pembagian zakat tidak dilakukan kecuali berdasarkan ijtihad dari Wali (penguasa wilayah). Golongan mana saja yang memiliki kebutuhan, maka ia diutamakan sesuai dengan kadar yang ditetapkan oleh Wali".





    [1] Abdul Mannan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, (Yogyakarta, Yayasan Dana Bhakti Wakaf, 1995), hlm. 256
    [2] Abdullah Nasih Ulwan, Hukum Zakat Dalam Pandangan Empat Mazhab, (Jakarta : Litera Antar Nusa, 1985), hlm. 2
    [3] Mahmud Yunus, Al Fiqhul Wadhih  Juz II, (Padang : Maktabah As Sa’diyah Putra, 1936), hlm. 33 dan Wahbah Az Zuhaili, Al Fiqhul Islami wa Adillatuhu Juz II. (Damaskus : Darul Fikr, 1996), hlm. 919
    [4] Wahbah Az Zuhaili, op. cit. hlm. 751 dan 916
    [5] An Nawawi. Sahih Muslim bi Syarhi An Nawawi Juz VII, (Beirut, Darul Fikr, 1982), hlm. 91
    [6] Abdul Qadim Zallum, Al Amwal fi ad Daulati al Khilafah  (Beirut : Darul Ilmi lil Malayin, 1983), hlm. 147
    [7] Ibid, hlm. 189
    [8] Ibid, hlm. 179
    [9] Ibid, hlm. 189, dan Wahbah Az Zuhaili, op. cit. hlm. 734
    [10] Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, (Yogyakarta : Dana Bhakti Wakaf, 1996), jilid 3, hlm. 244-245
    [11] Umer Chapra, Islam dan Tantangan Ekonomi, ((Surabaya : Risalah Gusti, 1999), hlm. 296
    [12] Wahbah Az Zuhaili, op. cit. hlm. 738-750
    [13] Abdul Qadim Zallum, op. cit. hlm. 149
    [14] Wahbah Az Zuhaili, op. cit. hlm. 832-833
    [15] Abdul Qadim Zallum, op. cit. hlm. 164
    [16] Ibid, hlm. 171-174
    [17] Ibid, hlm. 179
    • Blogger Comments
    • Facebook Comments

    0 blogger-facebook-disqus:

    Posting Komentar

    Item Reviewed: Optimalisasi Zakat Dan Shadaqah Rating: 5 Reviewed By: Pengusaha Muslim
    Scroll to Top